Oktober 12, 2025

Kitab Sucinya adalah Kontur Perbukitan, Bab-babnya adalah Siklus Tanam, dan Ayat-ayatnya adalah Hukum Keseimbangan Alam yang Tak Tertulis

0

TNIPOLRINEWS.COM –

PEMALANG – Jauh di dalam relung sunyi setiap jiwa manusia, bahkan pada fajar peradaban, ketika kata-kata masih berupa bisikan dan dunia masih diselimuti misteri.

Bersemayam sebuah getaran purba, hal itu bukanlah sebuah pemikiran, melainkan sebuah rasa, sebuah denyut abadi yang mendorong kita untuk menatap gugusan bintang di langit malam yang pekat dan bertanya, “Mengapa ada sebuah rasa kehausan yang tak terpadamkan untuk mencari makna di antara keteraturan musim dan sebuah kegentaran yang kudus dalam menghadapi keheningan agung kematian?
Inilah benih primordial dari apa yang kelak kita sebut sebagai Agama. Hal ini tidak lahir dari istana-istana megah atau dari kemewahan waktu luang, melainkan dari kebutuhan paling mendesak dari ruh manusia.

Melansir dari video channel GHAZALIYIN @ghazaliyin pada https://youtu.be/Ew2EClNRHXQ?, disebutkan bahwa “Kebutuhan untuk memahami tempatnya dialam semesta yang maha luas dan untuk berserah diri pada sebuah kekuatan yang nafasnya terasa dalam hembusan angin dan amarahnya terlihat dalam kilat yang menyambar.
Keyakinan itu sendiri laksana sungai besar mengalir dari dua hulu yang berbeda ;
-“Ada sungai yang turun langsung dari langit, laksana sebuah air terjun cahaya yang membawa wahyu, perintah-perintah Illahi yang dibisikkan oleh Tuhan kepada para utusan terpilihnya, dan firmanNYA terukir dalam kitab-kitab suci untuk menjadi pedoman mutlak”.
-“Namun ada pula sungai lain, Sungai yang menggelegak naik dari perut bumi itu sendiri. Hal itu lahir dari akal budi dan hati manusia saat dirinya pertama
kali berdiri tegak membuka matanya dan benar-benar melihat keajaiban yang mengelilinginya. Inilah yang disebut Agama Budaya, sebuah keyakinan yang akarnya menancap dalam pada getaran jiwa saat manusia merasakan ketakjuban yang melumpuhkan di hadapan matahari terbit, merasakan ketakutan yang suci saat gempa mengguncang bumi, dan merasakan pesona yang mendalam pada kelembutan embun pagi”.

Di tatar Sunda yang permai, di
antara lembah-lembah yang diselimuti kabut dan puncak-puncak gunung berapi yang tertidur, sungai keyakinan kedualah yang pertama kali mengalir deras, dan hal itu ada sebelum gema azan dan kidung-kidung dari kitab suci terdengar di tanah ini,
sebuah kesadaran spiritual yang mendalam telah bersemi. Masyarakat Sunda tidak perlu mendongak untuk mencari Tuhan di singgasana langit yang jauh, karena mereka melihatnya di mana-mana, mereka menyaksikan wajahnya dalam setiap helai daun padi yang menari ditiup angin, mendengar suaranya dalam gemricik air sungai yang menjadi urat nadi kehidupan dan merasakan kehadirannya di puncak-puncak gunung agung yang mereka yakini sebagai paku bumi, tempat para leluhur bersemayam.

Ketergantungan total mereka pada alam bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah gerbang menuju pencerahan. Alam bagi mereka bukanlah sekumpulan objek mati yang bisa dieksploitasi. Ia adalah sebuah entitas yang hidup dan bernafas.
Sebuah Pribadi agung yang
memberi kesuburan, namun juga bisa murka dengan banjir dan kekeringan. Ia adalah Ibu Pertiwi yang harus dihormati, dipahami, dan diajak bicara melalui ritual dan persembahan.

Dari rahim ketergantungan yang penuh hormat inilah lahir “Sunda Wiwitan”, ini bukanlah sebuah Agama yang diciptakan dalam satu malam, melainkan sebuah jalan spiritual yang mengkristal
selama ribuan tahun, disuling dari pengamatan, pengalaman, dan kebijaksanaan para leluhur. Ini adalah jawaban tulus dari masyarakat Sunda Kuno atas misteri kehidupan, kematian, dan segala sesuatu di antaranya.

Keyakinan ini tidak ditulis di atas lembaran emas atau perkamen yang rapuh, ajarannya terukir abadi dalam landskap tanah
Pasundan itu sendiri.
“Kitab sucinya adalah kontur perbukitan, Bab-babnya
adalah siklus tanam, Dan ayat-ayatnya adalah hukum keseimbangan alam yang tak
tertulis”.

Keajaibannya adalah gema dari keyakinan purba ini tidak pernah benar-benar sirna hingga hari ini, esensinya masih dijaga dengan napas dan darah oleh para penjaga terakhir Sunda Wiwitan.

 

(Eko B Art).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *