Skandal Anggaran Publikasi Rp6,7 Miliar Mengendap, Kontrak Media Tak Jelas

—–
Tnipolrinews.com |
Tanggamus – Mandeknya pembayaran kerja sama publikasi media di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tanggamus tidak lagi dapat dipandang sebagai persoalan teknis administratif semata. Fakta-fakta yang terus terungkap seiring penyelidikan mengarah pada dugaan wanprestasi, maladministrasi yang serius, hingga penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam pengelolaan anggaran publikasi yang mencapai sekitar Rp6,7 miliar.
Anggaran publikasi media tersebut tercantum jelas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tanggamus tahun berjalan dan telah diakui oleh pihak terkait tidak dialihkan ke program lain. Namun, hingga akhir tahun anggaran tersebut tidak direalisasikan sama sekali kepada ratusan perusahaan media yang telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) resmi bermaterai dengan Sekretaris DPRD (Sekwan). Ironisnya, anggaran tersedia di kas daerah, kontrak sah telah ditandatangani secara resmi, namun kewajiban pembayaran dihentikan sepihak oleh lembaga tanpa dasar hukum yang jelas.
Kontrak Sah, Negara Ingkar Janji Hukum
MoU kerja sama publikasi yang ditandatangani antara DPRD Tanggamus dan para mitra media bukanlah sekadar kertas kosong – melainkan perjanjian hukum yang mengikat kedua pihak. Penghentian pembayaran tanpa melakukan pembatalan tertulis, tanpa membuat addendum yang sah, dan tanpa melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan merupakan bentuk wanprestasi administratif yang mencederai asas kepastian hukum dan prinsip akuntabilitas keuangan negara. Dalam konteks ini, sungguh ironis ketika negara sendiri – melalui lembaga publiknya – tampil sebagai pihak yang ingkar terhadap perjanjian yang dibuatnya sendiri dengan para pelaku ekonomi kreatif di bidang pers.
Pers Dipaksa Bekerja Tanpa Jaminan, Martabat Digerus
Sebelum pembayaran terhenti, para media telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan isi MoU: mempublikasikan berbagai kegiatan lembaga DPRD, menyampaikan informasi publik kepada masyarakat, dan mendukung upaya transparansi tata pemerintahan daerah. Namun, hak kontraktual mereka untuk menerima imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan ditinggalkan begitu saja tanpa pemberitahuan yang jelas.
Praktik ini menempatkan pers pada posisi yang subordinat dan tidak adil: dipakai untuk kepentingan promosi dan komunikasi lembaga, lalu dilepas begitu tugas selesai tanpa kepastian pembayaran. Kondisi tersebut dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi jurnalis dan pengerdilan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi yang seharusnya dilindungi dan dihormati oleh negara.
Dalih Administrasi Menelanjangi Maladministrasi Serius
Humas DPRD Tanggamus, Feri, ketika dimintai konfirmasi, menyatakan bahwa pembayaran tidak direalisasikan karena jumlah media yang bekerja sama membengkak sehingga anggaran tidak cukup. Namun, pernyataan ini justru membuka lubang kecurigaan akan adanya maladministrasi yang serius, sebab beberapa ketidaksesuaian jelas terlihat:
– Perencanaan anggaran tidak berbasis pada kapasitas riil dan perhitungan jumlah mitra yang akan diajak kerja sama.
– Tidak ada sistem pengendalian yang efektif untuk membatasi jumlah mitra meskipun anggaran telah ditetapkan.
– Proses verifikasi dan penandatanganan MoU tetap dibuka meskipun pihak lembaga telah mengetahui bahwa anggaran tidak akan mencukupi untuk semua mitra.
Pertanyaan penting yang muncul: jika memang anggaran tidak cukup, mengapa kontrak tetap ditandatangani dan proses verifikasi dilanjutkan hingga akhirnya ribuan juta rupiah anggaran mengendap tanpa manfaat?
Skema Pembayaran Ada, Tanggung Jawab Dilempar Antar Lembaga
Dalam isi MoU yang telah ditandatangani, telah secara jelas ditetapkan sistem pengklasifikasian mitra media menjadi grade A, B, dan C, lengkap dengan nilai pembayaran yang sesuai untuk setiap grade. Namun, ketika pertanyaan tentang realisasi pembayaran muncul, pihak DPRD justru melempar tanggung jawab ke Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Tanggamus.
Pola pelemparan tanggung jawab ini menciptakan ruang gelap yang berbahaya dalam hal pertanggungjawaban: anggaran ada, skema pembayaran ada, kontrak ada – namun pejabat yang seharusnya bertanggung jawab tampak menghilang dan saling menyalahkan. Kondisi ini semakin menguatkan dugaan penyalahgunaan kewenangan, di mana keputusan untuk menandatangani kontrak dengan banyak mitra tidak diiringi pertimbangan yang cermat terkait tanggung jawab fiskal dan kemampuan lembaga untuk memenuhi kewajiban pembayaran.
Sekwan Bungkam di Tengah Sorotan Publik
Upaya konfirmasi langsung kepada Sekretaris DPRD Kabupaten Tanggamus dilakukan pada Rabu, 17 Desember 2025, di lingkungan Kantor DPRD Tanggamus. Namun, pejabat yang berwenang tersebut tidak memberikan keterangan apapun, dengan alasan sedang mengikuti rapat. Konfirmasi akhirnya hanya dapat diperoleh dari pihak Humas, yang jawabannya pun lebih banyak memberikan alasan daripada penjelasan yang jelas dan memuaskan.
Sikap bungkam pejabat berwenang di tengah polemik yang semakin memanas dan menjadi perhatian publik justru memperkuat kecurigaan atas buruknya tata kelola internal lembaga dan kemungkinan adanya hal-hal yang ingin disembunyikan.
Preseden Berbahaya bagi Demokrasi Lokal
Jika praktik mengabaikan kontrak dan mengendapkan anggaran publikasi ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, akan menciptakan preseden yang berbahaya bagi demokrasi lokal. Perjanjian resmi yang dibuat oleh lembaga publik akan kehilangan makna hukumnya, sehingga mitra swasta akan semakin ragu untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah. Selain itu, media yang seharusnya menjadi pengawas kekuasaan dipaksa bekerja tanpa jaminan, sementara kepercayaan publik terhadap institusi negara terus tergerus seiring dengan munculnya kasus-kasus ketidakakuratan pengelolaan anggaran.
Desakan Audit dan Penegakan Hukum yang Kuat
Atas kondisi yang semakin memprihatinkan, sejumlah pihak – antara lain organisasi pers lokal, aktivis demokrasi, dan masyarakat awam – mendesak tindakan tegas dari berbagai lembaga pengawas, antara lain:
– Dilakukannya audit menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan anggaran publikasi DPRD Tanggamus.
– Dilakukannya pemeriksaan oleh Ombudsman Republik Indonesia terkait dugaan maladministrasi dalam proses perencanaan, penandatanganan kontrak, dan realisasi anggaran.
– Memperkuat peran Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan dan martabat profesi pers yang tertekan.
– Dilakukannya penelaahan oleh aparat penegak hukum terhadap dugaan wanprestasi dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat terkait.
Kasus ini kini menjadi ujian telanjang bagi demokrasi di Kabupaten Tanggamus: apakah pers benar-benar dihormati sebagai pilar keempat demokrasi, atau justru dikorbankan semata untuk menutup kegagalan tata kelola anggaran dan kurangnya tanggung jawab dari pejabat publik. (N.Heriyadi-team9)