November 4, 2025

Darurat Sampah Sungai Jumputrejo Sidoarjo: Warga Frustrasi, Pemkab Diminta Hentikan Sampah Kiriman

0

​——

SIDOARJO || Tnipolrinews.com –

Program normalisasi sungai yang digalakkan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tampaknya tak berlaku di Desa Jumputrejo, Kecamatan Sukodono. Tumpukan sampah di perempatan jalan raya desa tersebut dinilai tiada habisnya, menimbulkan bau busuk menyengat, dan ironisnya, telah menjadi pemandangan biasa selama puluhan tahun. Warga Jumputrejo kini mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengambil tindakan yang lebih serius dan tegas.

​Kondisi sungai di Jumputrejo sungguh memprihatinkan. Sampah menimbun hingga menutupi aliran sungai, menciptakan dampak visual dan kesehatan yang buruk bagi pedagang di sekitarnya. Ironisnya, setelah dilakukan normalisasi pada 31 Oktober 2025 dan pembersihan kembali pada 2 November 2025, pantauan media pada hari Senin, (3/11/25) pukul 15.09 WIB, menunjukkan sampah sudah mulai berdatangan dan menumpuk lagi.

​Seorang warga yang enggan disebut namanya menyatakan, Bahwa Kejadian seperti ini sudah sejak berpuluh-puluh tahun lalu, dan akhirnya jadi hal biasa, yang dikhawatirkan warga adalah dengan musim hujan seperti ini, karena ditakutkan sungai meluap dan sampah-sampah meluber ke jalan raya.

​Sekretaris Desa (Sekdes) Jumputrejo, Wahyu Jatmiko (Miko), membenarkan bahwa desa mereka adalah korban dari masalah lingkungan ini.

​”Desa kami ini adalah korban dari desa-desa yang lain perihal sampah, dan sampah ini menumpuk di tempat kami, karena hanya di tempat kami yang terpasang jaring penahan sampah pada saluran irigasi, ditambah warga luar desa kami yang suka buang sampah sembarangan,” ungkap Miko pada Kamis (30/10/2025).

​Aliran sungai ini diketahui menampung kiriman dari Desa Jogosatru, Pademonegoro, Pekarungan, Cangkringsari, dan Suruh. Miko menegaskan kendala utama adalah tidak adanya jaring dari desa lain hingga mau tidak mau mengalirnya ke Desa Jumputrejo ini.

​Saat ini, Pemerintah Desa Jumputrejo telah berkoordinasi dengan enam pemerintah desa terkait dan pihak kecamatan untuk mengatur pendanaan pembuangan sampah. Diputuskan akan disiapkan tim untuk mengambil sampah tiga kali seminggu.

​Kendala Tenaga Kerja dan Keikhlasan Relawan yang Ditolak
​M. Solikhin, mantan Camat Sukodono yang kini bertugas di Inspektorat Sidoarjo, menjelaskan kesulitan penanganan di tingkat kecamatan. Setahun sebelumnya, ia telah berupaya mencari solusi dengan kerjasama DLHK Sidoarjo.

​Solikhin memaparkan, Untuk mengangkut sampah dari Desa Jogosatru sampai Jumputrejo dengan pemasangan jaring itu kurang efektifnya karena desa kesulitan mencari tenaga angkut sampah ke truk sampah.

​Solusi pengangkutan dua kali seminggu sempat berjalan lancar. Namun, munculnya relawan yang menolak dibayar justru membuat tenaga kerja yang ada berhenti, dan kemudian tidak ada lagi tenaga yang mau bekerja.

​”Seandainya para relawan ini mau dibayar maka kita tidak memperkerjakan tenaga lain, karena tidak mau dibayar itu susah kita pertanggungjawaban nya. Kita sudah pernah menawarkan ke tim relawan tapi tidak mau,” ujar Solikhin.

​Frustrasi terhadap lambatnya penanganan pemerintah melahirkan kelompok relawan Banda Raya. Arik, salah satu relawan, mengkonfirmasi penolakan bayaran tersebut.

​”Memang benar kami sempat mau dibayar dari pihak kecamatan tapi kami menolak, karena notabane kami hanya relawan. Intinya kami ingin desa Jumputrejo ini bersih dari sampah.”Jelas Erik.

​Rekan relawan, Gunawan, mengungkapkan pemicu terbentuknya kelompok ini adalah rasa malu warga.

​”Kehadiran Banda Raya itu sebenarnya muncul setelah adanya warga dari luar desa yang menyebut perempatan itu dengan sebutan Kali Sampah Dari sebutan itu kami warga Jumputrejo merasa malu dan kecewa hingga terbentuklah relawan Banda Raya,” tegas Gunawan.

​Pertanyaan Warga Soal Dana PIWK dan Ketegasan Pemda
​Di tenggarai saling lempar tanggung jawab antar instansi, warga mempertanyakan penggunaan dana publik.

​”Sedangkan informasi dilapangan dana PIWK (Pagu Indikatif Wilayah Kecamatan) mayoritas yang keluar dari tahap 1 dan tahap 2 bisa mencapai 50 juta/tahun. Belum lagi adanya informasi tiap desa telah mengumpulkan iuran ke kecamatan. Lalu kemana semua peruntukan dana-dana tersebut,” tambah seorang warga.

​Warga Jumputrejo berharap agar Pemda tidak lagi saling lempar tangan, mengingat dampak buruk yang harus mereka rasakan.

​”Harapan warga sebenarnya simple, sungai itu bersih dari sampah. Warga Jumputrejo sudah capek dikata membuang sampah sembarangan, bahkan sampai dapat julukan ‘Kali Sampah’ dari warga lain. Kalau tiap pemerintah terkait saling lempar tanggung jawab, terus kemana warga ini mengadu,” pungkas warga.

​Berdasarkan penelusuran, Dana PIWK merupakan program yang sempat digulirkan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk mempercepat penanganan permasalahan infrastruktur di tingkat kecamatan, seperti jalan rusak, perbaikan drainase, dan pengelolaan sampah.

​Total Alokasi Kabupaten Pada tahun-tahun awal pelaksanaannya (sekitar 2021), total dana PIWK yang dialokasikan Pemkab Sidoarjo untuk 18 kecamatan adalah sekitar Rp38,1 miliar hingga Rp40 miliar.

​Besaran alokasi per kecamatan berbeda-beda. Dalam informasi yang tersedia, Camat Sukodono diapresiasi karena respons cepat dalam menyerap dan menggunakan dana PIWK untuk perbaikan jalan di wilayahnya.

​Dana PIWK secara spesifik ditujukan untuk pemeliharaan infrastruktur yang tidak terjangkau oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti:

*​Pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan lingkungan.
*​Pemeliharaan afvoer (saluran air/drainase).
*​Pengelolaan sampah (disebutkan sebagai salah satu cakupan).
dan ada ​Kaitannya dengan Jumputrejo

​Fakta bahwa pengelolaan sampah termasuk dalam cakupan PIWK semakin memperkuat tuntutan warga Desa Jumputrejo. Keluhan mereka mengenai dana PIWK yang mencapai Rp50 juta per tahun per desa dan iuran ke kecamatan menunjukkan adanya potensi sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk mengatasi masalah sampah kiriman yang menahun tersebut, termasuk:

​Dana dapat dialokasikan untuk memasang jaring penahan sampah di desa-desa hulu (Jogosatru, Pademonegoro, Pekarungan, Cangkringsari, dan Suruh) sebagaimana disarankan oleh M. Solikhin, mantan Camat Sukodono.

Dana dapat digunakan untuk membiayai tenaga angkut sampah secara profesional (seperti yang dilakukan sebelum munculnya relawan), mengingat kesulitan pertanggungjawaban dana jika relawan menolak upah.(Arju Herman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *