September 1, 2025

Dengan Mengembalikan Aset Korupsi dan Mengalokasikannya untuk Kepentingan Umum, Negara Menunjukkan Komitmennya Untuk Memaksimalkan Sumber Daya Bagi Kesejahteraan Rakyat

0

TNIPOLRINEWS.COM –

Pemalang – Pengembalian aset adalah upaya konkret yang harus terus didorong dan ditingkatkan. Pentingnya pengembalian aset dalam kasus korupsi harus menjadi prioritas utama karena berbagai alasan mendesak. Pertama, langkah ini adalah cara paling konkret untuk memulihkan kerugian keuangan negara akibat korupsi. Dana yang berhasil dikembalikan dapat langsung digunakan untuk membiayai program pembangunan, mengurangi defisit anggaran, atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tanpa pengembalian aset, kerugian triliunan rupiah hanyalah angka di atas kertas, tanpa dampak nyata yang bisa dirasakan oleh publik.

Selain itu, pengembalian aset juga berfungsi sebagai alat penegakan hukum yang kuat. Dengan merampas hasil kejahatan, negara memastikan bahwa pelaku korupsi tidak hanya menerima hukuman pidana, tetapi juga kehilangan kekayaan ilegalnya. Hal ini memberikan efek jera yang jauh lebih besar dan mencegah mereka menikmati hasil kejahatan. Upaya ini juga memenuhi prinsip keadilan restoratif, dimana negara dan masyarakat sebagai korban mendapatkan kembali apa yang telah dicuri.

Pada akhirnya, pengembalian aset merupakan cerminan dari politik hukum yang berorientasi pada keadilan sosial. Dengan mengembalikan aset korupsi dan mengalokasikannya untuk kepentingan umum, negara menunjukkan komitmennya untuk memaksimalkan sumber daya bagi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pengesahan dan penerapan regulasi yang efektif, seperti RUU Perampasan Aset, adalah langkah strategis dan krusial dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Melansir dari pemberitaan https://jaga.id/berita/heboh-angka-fantastis-korupsi-esensi-pengembalian-aset-jangan-terabaikan?vnk=4bf78d8a,disebutkan bahwa “Dalam Pemberantasan Korupsi”, publik sering kali terpana oleh berita tentang angka kerugian negara yang fantastis, mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Angka-angka ini menjadi berita utama, memicu kemarahan, dan mendominasi perdebatan publik. Namun, di balik sorotan tersebut, ada satu hal yang lebih substansial dan penting untuk diperhatikan yaitu pengembalian aset.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto pernah mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam “drama” angka kerugian yang bombastis ini. Nilai triliunan rupiah tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti dengan pengembalian aset yang nyata kepada negara.

Pengembalian aset atau asset recovery adalah upaya hukum untuk melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku kepada negara. Ini adalah langkah konkret yang bertujuan untuk memulihkan kerugian finansial negara dan memberikan efek jera yang nyata kepada para koruptor. Pengembalian aset dilakukan melalui berbagai cara, seperti lelang barang sitaan, hibah, atau penetapan status penggunaan aset hasil korupsi.

Meski demikian, terdapat tantangan lembaga penegak hukum dalam proses pengembalian aset ini. Salah satu kendala utama adalah aspek hukum dan regulasi. Selama ini, pengembalian aset baru dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Proses hukum yang panjang ini memberi ruang bagi pelaku untuk menyembunyikan atau memindahkan aset. Sistem yang berlaku juga masih berbasis pada pembuktian tindak pidana atau conviction-based forfeiture, sehingga pengembalian aset sangat bergantung pada vonis pengadilan. Upaya menghadirkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pun hingga kini belum terealisasi.

Selain kendala hukum, tantangan besar lainnya terletak pada aspek administrasi, teknis dan koordinasi antar lembaga. Proses perizinan dan birokrasi yang panjang, terutama untuk penyitaan aset di luar negeri, sering memperlambat pemulihan. Koordinasi antara lembaga penegak hukum, keterbatasan sumber daya manusia serta minimnya teknologi pelacakan aset juga menghambat efektivitas pengembalian.

Di sisi lain, pemberitaan kerugian negara akan meningkatkan sorotan publik terhadap nominal kerugian finansial yang sangat besar akibat korupsi. Sering kali, nominal ini menjadi daya tarik utama media dan publik. Namun, hal ini kerap menjadi bumerang ketika nilai pengembalian aset yang berhasil jauh lebih kecil dari kerugian yang diberitakan.

Sebagai contoh, sebuah kasus korupsi diberitakan dengan kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah, tetapi aset yang bisa disita dan dikembalikan hanya bernilai ratusan miliar. Ketidakseimbangan ini menimbulkan kesan bahwa sistem penegakan hukum kurang efektif dalam memulihkan kerugian negara. Nilai kerugian yang besar menjadi headline, sementara realisasi pengembalian aset yang minimal sering kali luput dari perhatian.

 

(Eko B Art).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *