Juni 1, 2025

Djoko Kariyono, Waka DPW PWDPI Jatim Kecam Intimidasi Wartawati Sidoarjo 

0

Sidoarjo, Tnipolrinews.com – Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi. Namun, pilar ini kini kembali diguncang oleh tindakan sewenang-wenang terhadap seorang jurnalis perempuan yang tengah menjalankan tugasnya. Adalah Aminatus Sakdiyah, pewarta dari media online Wartawati sekaligus anggota Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) wilayah Sidoarjo, yang menjadi korban intimidasi saat meliput isu lingkungan di wilayah Krian, Sidoarjo.

Kejadian ini bukan sekadar persoalan peliputan tumpukan sampah. Ini adalah kisah tentang bagaimana seorang jurnalis diseret, ditekan, dan diintimidasi oleh oknum-oknum yang merasa terganggu oleh keberanian mengungkap fakta. Dan lebih dari itu, ini adalah ujian bagi negara: masihkah hukum berpihak pada kebenaran dan kebebasan pers?

Semua berawal pada Jumat, 17 Mei 2025. Aminatus menerima keluhan dari warga mengenai tumpukan sampah yang tak kunjung diangkut di Jalan Wahidin Sudiro Husodo, tepatnya di depan UPTD Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Krian. Persoalan sampah yang tak hanya mengganggu kenyamanan, tapi juga menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat, memerlukan perhatian. Sebagai jurnalis, Aminatus merasa bertanggung jawab untuk menindaklanjuti aduan tersebut.

Dengan kamera di tangan dan semangat menyuarakan kebenaran, ia mendokumentasikan kondisi lapangan sebagai bahan peliputan. Namun, langkah profesional tersebut justru memicu reaksi keras. Seorang tokoh agama lokal datang menegur Aminatus. Teguran itu tak hanya keras, tetapi juga bernada intimidatif. Ia dipersalahkan karena dianggap mencemarkan citra lingkungan sekitar.

Tak berhenti di situ, Aminatus lalu ‘digiring’ ke Balai RW 08 oleh sejumlah orang. Di tempat yang seharusnya menjadi ruang dialog warga itu, ia justru mendapat tekanan mental. Di hadapan banyak orang, ia dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya—tuduhan menerima uang dari pengelola sampah pasar Krian. Tuduhan itu tak berdasar, tak didukung bukti, dan tak melalui prosedur hukum.

“Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Saya hanya meliput sesuai dengan keluhan warga. Tapi di sana saya diperlakukan seolah-olah bersalah. Saya bahkan dituduh menerima uang. Saya merasa dipermalukan dan terintimidasi,” ungkap Aminatus dengan suara bergetar saat diwawancarai.

Tak hanya itu. Di tengah tekanan tersebut, ia menyadari bahwa seseorang tengah merekamnya tanpa izin. “Saya ingat wajahnya, tapi tak tahu siapa dia. Saya tidak tahu untuk apa rekaman itu digunakan. Tapi saya merasa hak privasi saya dilanggar,” ujarnya.

Intimidasi yang diterima Aminatus tidak hanya berhenti di balai RW. Setelah kejadian tersebut, ia dan keluarganya mengalami tekanan sosial dari lingkungan sekitar. “Anak-anak saya ikut merasakannya. Mereka dikucilkan. Saya sebagai ibu merasa hancur. Ini bukan hanya menyakiti saya sebagai jurnalis, tapi sebagai manusia dan sebagai orang tua,” tutur Aminatus.

Pengucilan sosial ini menambah beban psikologis yang berat. Bukan hanya mental, namun martabat dan rasa aman pun ikut terkikis.

Mengetahui peristiwa ini, Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) langsung bergerak. Ketua PWDPI wilayah Sidoarjo, Agus Subakti, ST, bersama sejumlah jurnalis mendampingi Aminatus untuk melaporkan kasus ini ke Kantor Kelurahan Krian. Mereka disambut oleh Sekretaris Desa dan bagian Kesra, karena Lurah Krian, Ibnu Malik, saat itu sedang tidak berada di tempat.

Dalam pertemuan singkat itu, disepakati bahwa akan ada pertemuan lanjutan secara resmi yang menghadirkan semua pihak terkait.

Namun, malam harinya, tekanan kembali datang. Aminatus kembali dipanggil oleh oknum-oknum ke Balai RW. Alasannya: ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun metode yang digunakan sangat meragukan.

Ketua PWDPI, Agus Subakti, ST, menolak keras upaya penyelesaian informal tanpa pendampingan hukum. “Ini bukan sekadar soal permintaan maaf atau penyelesaian damai. Ini adalah soal intimidasi terhadap profesi jurnalis. Kalau penyelesaian tidak dilakukan sesuai hukum dan transparan, ini bisa menjadi preseden buruk,” tegasnya.

Agus juga menyoroti bahwa pihak-pihak yang dihubungi—termasuk Ketua RT 37, Aji Margono, dan seorang pria bernama Muklas yang mengaku sebagai petugas keamanan—belum memberikan klarifikasi resmi. Bahkan Muklas justru mendesak agar penyelesaian dilakukan malam itu juga, tanpa mempertimbangkan kondisi mental korban.

Kasus yang menimpa Aminatus Sakdiyah jelas merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 8 menyebutkan bahwa wartawan memiliki hak atas perlindungan hukum dalam menjalankan tugas. Pasal 4 menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Sedangkan Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik bisa dikenakan hukuman pidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta.

“Ini bukan hanya masalah Aminatus. Ini adalah masalah bersama, tentang bagaimana kita memperlakukan profesi jurnalis dan bagaimana hukum ditegakkan. Jika negara tidak hadir, maka jangan salahkan jika solidaritas jurnalis akan bergerak,” kata Agus.

PWDPI menegaskan akan terus mengawal kasus ini dan tak segan mengambil langkah hukum jika tidak ada penyelesaian yang adil dan terbuka. Mereka bahkan mempertimbangkan menggelar aksi solidaritas terbuka di wilayah Krian jika tidak ada itikad baik dari para pihak yang terlibat.

Kejadian ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, aparat, dan seluruh elemen masyarakat. Saat seorang jurnalis harus dipaksa bungkam karena memberitakan sampah, maka yang lebih kotor dari tumpukan sampah itu adalah sikap diam kita terhadap ketidakadilan.

“Kami tidak akan bungkam. PWDPI berdiri bersama Aminatus, dan bersama semua jurnalis yang hari ini berjuang di medan liputan, melawan kebungkaman dan tekanan,” tegas Agus Subakti.

Jika Anda membaca berita ini dan merasa tergugah, ketahuilah: pers yang bebas adalah jantung dari masyarakat yang sehat. Ketika satu jurnalis dibungkam, suara publik pun ikut diredam. Dan saat negara memilih diam, maka rakyat harus bersuara.
(Lisa-Dody)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *