Perampas Sejarah Oleh Kustajianto
Cerpen halaman 1
Tnipolrinews.com – Suatu malam dimana bulan yang bersinar keindahanya tak lagi dikagumi anak-anak karena dilenyapkan listrik. Bahkan anak-anak tidak tahu bagaimana main gabag sodor, rumpet tahun cukom dan sejenisnya.
Kini anak-anak usia belasan tahun bisa beli tanah dan bangun rumah, di garasinya terdapat mobil.
Malam Minggu, Rosa sengaja mengajak kekasihnya untuk berkenalan pada bapaknya. Sebenarnya bukan berkenalan. Lebih tepatnya mendiskusikan lamaran, karena apa pun alasanya seorang bapak wajib jadi wali waktu ijab kabul dalam proses pernikahan.
Lelaki di samping Rosa yang biasanya ceria, malam ini di ruang tamu rumahnya lebih banyak diam. Sampai-sampai Rosa keheranan.
“Kenapa sih dari tadi diam mulu?” Tanya Rosa manja.
“Lagi kagum sama foto tokoh di ruangan ini,” jawabnya.
“Yah… gitu aja dipikirin. Bapak kan dosen sejarah.”
“Karena Beliau dosen sejarah itu cantik… aku jadi grogi.”
“Masa sih… anak tentara bisa grogi.”
“Yaitu… karena aku anak tentara… jadi grogi. Memperhatikan Presiden Pertama Soekarno, Pujangga Bagus Burham Ngabehi Ronggowarsito dan kepala desa ini yang masih leluhurnu.”
“Emang ada masalah?”
“Mendadak ada masalah.”
Bapak Rosa dengan tersenyum hadir, dua pasangan itu menjabat tanganya dan berusaha cium tangan.
Duduk di kursi jati berukir, alas dan sandaranya berlapis kulit pilihan.
Dengan lembut Doktor Sulung membuka percakapan. Sementara itu, ketiak Ratno keluar keringat dan jidatnya mengembun.
(Bersambung halaman 2)
Cerpen halaman 2
Beberapa pertanyaan Doktor Sulung dijawab dengan baik karena menyangkut persoalan yang sederhana, misalnya tentang orangtuanya dan seputar berita yang viral di media sosial.
Sebenarnya Rosa sudah memberi kode dengan menendang kaki Ratno jangan menjawab berlebihan. Seperti yang sudah dijanjikan, sebelum pertemuan dengan bapaknya, jangan membanggakan profesi penggiat media sosial.
Bapaknya yang dosen sejarah bukan berarti anti media sosial tapi sudah lama mengikuti konten yang dibuat Ratno, sampai bisa bangun rumah dan bertamu naik mobil baru. Karena bagi bapaknya bulan sesuatu yang membanggakan.
Rosa selaku anak terakhir dari empat bersaudara yang semuanya perempuan dan ikut suaminya, tinggal dirinya yang merasa harus bersama orangtuanya sampai pensiun bahkan sampai tiada.
Pada waktu menyaksikan diskusi antara bapak dan kekasihnya, Rosa mendadak tak ingin berpisah dengan keduanya.
“Aku ikut konten Mas Ratno kok… Anti tanah air bahkan membelokan sejarah, kenapa ya…?”
“Hem… biar laris aja Pak. Karena kalau yang biasa-biasa aja, nggak laku.”
“Marketingnya apa harus begitu?”
“Ya… nggak harus, Pak. Hanya survey dan kesimpulan saya aja.”
“Hasil survey yang menyimpang dan bohong dijamin laris?”
“Iya, Pak.”
Doktor Sulung diam sejenak. Menundukan kepala. Sebenarnya malam itu akan bicara lebih tegas lagi tetapi mengingat lelaki di depanya sangat dicintai anak ragilnya, perasaan kecewa hanya menggelegar dalam dada. Apalagi anaknya pernah cerita sering tidur beraama dengan lelaki bermuka pucat itu.
Akhirnya Ratno dengan suara bergetar menyampaikan akan melamar putrinya bulan depan.
Doktor Sulung menerima meskipun dengan satu sarat.
“Tolong tinggalkan konten yang anti tanah air dan membelokan sejarah.”
“Siap, Pak.”
(Bersambung halaman 3)
Cerpen halaman 3
“Silahkan ngobrol, aku mau istirahat dulu.”
Doktor Sulung berdiri dan bergerak meninggalkan ruang tamu ke kamar tidur.
Dialog yang baru saja terjadi di ruang tamu, seperti sedang menenggelamkan dirinya dalam lautan darah.
Tak pernah bermimpi punya menantu seorang laki-laki kerempeng bermuka pucat dengan otak pengkhianat. Berapa juta generasi milenium yang telah diracuni oleh konten-kontenya sampai laris dan menghasilkan banyak duit.
Lelaki itu bukan manusia biasa tetapi manusia berotak penjahat yang seharusnya dihukum tembak.
Setiap berpikir hukum tembak, dada Doktor Sulung sakit lalu batuk-batuk.
Doktor Sulung ke kamar mandi yang terdapat di sudut kamar tidurnya. Mengeluafkan darah segar dari mulut dan kembali lagi berbaring di tempat tidur.
Tidak mudah memejamkan mata. Sejak putrinya yang terakhir bercerita telah hamil dan yang menghamili Ratno, pemuda tetangga desa yang dikenal angkuh di lingkunganya. Beda jauh dengan ayahnya yang tentara, ketika masih hidup selalu menolong persoalan tetangganya.
“Lelaki itu beda sekali dengan ayahnya?” Gumam Doktor Sulung.
Lama-lama Doktor Sulung tertidur.
Esok harinya, Doktor Sulung setelah sarapan pagi, minum kopi dan merokok di teras depan seperti hari-hari sebelumnya.
Kalau pulang dari kampus, duduk di kursi yang sama sambil meluruskan kursi di kursi lain yang ditarik persis di depanya.
“Aku heran sama Mas Sulung, kukira iseng aja minum kopi dan merokok, eh… aku hitung sudah sebulan, mengapa Mas?” Tanya istrinya yang lima tahun lebih muda dan mantan kembang desa.
“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat.
“Kalimat nggak apa-apa, itu yang membuat aku curiga. Ada rahasia apa dibalik kalimat itu Mas?”
(Bersambung halaman 4)
Cerpen halaman 4
“Nggak ada apa-apa.”
“Apa karena Rosa?”
“Bukan. Sebab jalan hidup Rosa memang harus demikian tapi aku…apa dosaku!” Teriaknya sambil memukul paha sendiri.
Istrinya menghela napas. Tepat dugaanya. Kebiasaan yang baru sebulan itu merupakan bentuk ekspresi keputusasaan menghadapi Rosa dan kekasihnya.
“Jalan hidup anak kita, kita pun ikut terlibat. Keterlibatanya itu nggak ada hubunganya dengan dosa atau yang lainya. Hanya karena dia anak kita maka kita terlibat.”
Akhirnya istrinya diam. Memperhatikan suaminya yang gagah perkasa dan sehari-hari berbicara di depan mahasiswa bagaimana memperkuat mental untuk cinta tanah air. Beribu kali diucapkan bahwa generasi muda adalah harapan bangsa.
Isttinya berpikir bahwa batuk-batuk yang dialami suaminya lalu lari ke kamar mandi adalah reaksi racun yang diminum tiap pagi yang dicampur kopi.
Istrinya bergerak meninggalkan teras depan menuju ke dapur mencari sesuatu.
Menemukan kopi yang bungkusnya terbuka, tapi karena dimasukan dalam kaleng anti karat sebesar genggaman orang dewasa, aroma kopi tidak hilang.
Istrinya menyeduh kopi dalam cangkir dan dibawa ke luar menuju teras untuk ngopi bersama suami tercinta.
Doktor Sulung melihat istrinya membawa cangkir beraroma kopi berdiri di sebelahnya, terkejut.
“Apa-apa’an kamu!” Bentaknya.
Sambil merampas cangkir yang dilegang lalu melempar jauh dan jatuh berderak.
Istrinya hanya tersenyum.
“Dulu janjinya sehidup semati?”
“Diam!”
“Apa kopinya beracun?”
“Iya!”
Istri terisak-isak menahan tangis yang lama disembunyikan.
Sesaat tak ada percakapan.
“Mengapa, Mas?”
“Kamu harus hidup.”
Istrinya memeluk Doktor Sulung dan menumpahkan segala tangisnya.
Matahari mulai lenyap di ufuk barat dan listrik di mana-mana menyala, tak ada suara serangga kecuali sepasang kucing yang berkejaran melintas.
Tamat.
Pemalang, 17-9-2024.