Publik Menyorot Permasalahan Sewa Lahan Pengusaha Besi Tua dan Ketidak Terbukaan Data Diterminal Bus Tanjungwangi
BANYUWANGI, tnipolrinews.com – Menayangkan kembali dengan cemasnya dan tidak ada tindakan nyata dari dinas dinas terkait, Masyarakat Banyuwangi semakin khawatir dengan timbunan besi tua dan limbah pertambangan yang menumpuk di lahan sebelah selatan Terminal Bus Tanjungwangi yang di sewa oleh pengusaha tersebut, besi tua yang diduga di beli berasal dari BSI Tumpang Tuju. Pengusaha tersebut dinilai tidak memiliki izin usaha yang sah di bidang pengelolaan besi tua dan limbah pertambangan, sehingga menimbulkan pertanyaan terhadap diamnya penegak peraturan di daerah.
Kamis: (11-12-2025).
Pelanggaran aturan ini terjadi secara terang-terangan di area terminal yang seharusnya difungsikan untuk kebutuhan operasional bus dan kenyamanan penumpang. Timbunan limbah bekas pertambangan tidak hanya merusak pemandangan tetapi juga berpotensi menimbulkan penyakit bagi yang berdekatan.
Publik juga bertanya-tanya mengapa Dinas Perhubungan, sebagai pengelola terminal, tidak menyadari bahwa lahan yang disewakan digunakan untuk penimbunan limbah. Apakah kepala terminal sengaja menutup mata atau memang mengizinkan lahan terminal di sewakan untuk menjadi “sarang penyakit”.

Diketahui bahwa lahan tersebut telah disewakan oleh pengusaha besi tua setempat selama lebih dari satu bulan tanpa perizinan resmi. Namun, ketika ditanya oleh tim jurnalis, Kepala Dinas Perhubungan Komang tidak dapat mengkonfirmasi besarnya nilai sewa dan jangka waktu sewa (bulanan atau tahunan), sehingga menimbulkan keraguan terhadap transparansi proses.
Terminal Bus Angkutan Antar Propinsi (BAP) Tanjungwangi – yang juga dikenal sebagai Terminal Sritanjung atau Terminal Ketapang – terletak di Dusun Kapuran, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, dan dikelola resmi oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Banyuwangi. Dengan luas lahan negara mencapai 62.920 meter persegi, terminal yang seharusnya menjadi gerbang utama keberangkatan dan kedatangan penumpang antar daerah bahkan antar provinsi, kini telah kehilangan fungsi aslinya.
Tanah yang semula disiapkan untuk kenyamanan penumpang dan operasional bus, kini dipenuhi tumpukan besi tua yang acak, limbah sembarangan, serta truk-truk besar yang parkir liar menunggu kesempatan nyebrang ke Pulau Lombok melalui pelabuhan terdekat.
Dengan kondisi lahan yang begitu luas namun tidak dikelola dengan baik dan disewakan tanpa transparansi, muncul dugaan kuat bahwa lokasi ini menjadi sarana pengelapan dana – baik dari hasil penyewaan lahan maupun uang parkir – yang seharusnya masuk ke kas negara dan digunakan untuk pembangunan fasilitas publik.

Sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), lahan negara yang disewakan merupakan informasi publik yang harus dapat diakses masyarakat secara bebas. Setiap proses yang berkaitan dengan lahan negara – termasuk penyewaan, penentuan nilai sewa, jangka waktu, dan pengelolaan hasil – harus dilakukan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketidakterbukaan Dinas Perhubungan terkait proses penyewaan dan pengelolaan uang parkir semakin memperkuat dugaan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat Banyuwangi menginginkan penjelasan yang jelas dari Dinas Perhubungan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Mereka mengharapkan penelitian mendalam, pengusutan hukum jika terbukti ada pelanggaran, dan tindakan tegas untuk mengembalikan fungsi asli terminal sebagai fasilitas transportasi yang layak dan bermanfaat.
Kesimpulannya, masyarakat memiliki hak yang kuat untuk menuntut transparansi dalam pengelolaan aset negara. Pemerintah daerah harus segera mengambil tindakan untuk memenuhi kewajiban hukumnya dan memastikan bahwa lahan negara digunakan untuk kepentingan umum.
(Mustakim & Hidayat)