SMPN 32 Surabaya Wujudkan Lingkungan Pendidikan yang Aman dan Inklusif Lewat Pemenuhan 10 Hak Dasar Anak Di Sekolah

——
Surabaya, Tnipolrinews.com |
Dalam rangka menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang anak, Dinas Pendidikan melalui SMP Negeri 32 Surabaya menggelar kegiatan Sosialisasi Sekolah Ramah Anak Sebagai Upaya Pemenuhan 10 Hak Dasar Anak, bertempat di Aula SMP Negeri 32 Surabaya. Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari Komite Perlindungan Anak Kota Surabaya dan Babinsa Kelurahan Wonokromo Surabaya.
Kegiatan tersebut menunjukkan keseriusan SMP Negeri 32 Surabaya dalam dukungan penuh terhadap upaya menciptakan satuan pendidikan yang ramah, aman, dan mendukung tumbuh kembang anak di SMP Negeri 32 Surabaya.
Dalam sambutannya, Kepala SMP Negeri 32 Surabaya, yang diwakili oleh Waka Kesiswaan, menyampaikan bahwa konsep SMP Negeri 32 Surabaya sebagai Sekolah Ramah Anak merupakan bagian dari komitmen bersama dalam menjamin 10 hak dasar anak terutama di dunia pendidikan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 4, setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, serta berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, ujar Wadadi, S.Pd. Ia juga menambahkan bahwa prinsip SMP Negeri 32 Surabaya sebagai Sekolah Ramah Anak mencakup non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan terhadap suara anak. Kegiatan akan dibagi menjadi 2 sesi, sesi 1 untuk anak-anak perwakilan dari setiap kelas dan sesi berikutnya untuk para pendidik dan guru. Lebih lanjut, beliau berharap agar seluruh pendidik, guru, dan warga SMP Negeri 32 Surabaya mampu memahami dan mengimplementasikan konsep Sekolah Ramah Anak secara menyeluruh. Dengan demikian, SMP Negeri 32 Surabaya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga menjadi wadah pembentukan karakter, perlindungan, dan pengembangan potensi anak, terutama permendikbud No 46 tahun 2023. Ini tanggung jawab kita semua. Untuk menekan angka kekerasan, kita harus bersama-sama membangun kesadaran kolektif, memperkuat edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar kekerasan bisa benar-benar ditekan, bahkan kalau bisa mencapai zero case,” ujar Didik Ahmadi, selaku Babinsa Kelurahan Wonokromo.

Dalam konteks Sekolah Ramah Anak, Didik menekankan pentingnya sistem pengawasan berlapis di lingkungan pendidikan. Sementara itu, narasumber Syaiful Bachri, Ketua Komnas Perlindungan Anak Kota Surabaya menyampaikan bahwa keberhasilan implementasi Sekolah Ramah Anak membutuhkan sinergi dari seluruh elemen, baik internal sekolah maupun pihak eksternal. Ia memaparkan sejumlah implementasi strategi, di antaranya Peningkatan kesadaran dan pemahaman warga sekolah tentang hak anak, Terbentuknya kebijakan internal sekolah yang mendukung lingkungan ramah anak serta Pelibatan peserta aktif didik dalam berbagai kegiatan sekolah.
Anak bukan hanya objek pendidikan, tetapi juga subjek yang harus diberikan ruang untuk berpendapat, mendengarkan, dan dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran maupun kehidupan sekolah, ujar Kak Iful. Melalui kegiatan sosialisasi ini, diharapkan seluruh warga sekolah, dapat segera menyetujui dan menerapkan prinsip-prinsip Sekolah Ramah Anak dalam praktik pendidikan sehari-hari. Komnas Perlindungan Anak Surabaya menyatakan komitmennya untuk berkerjasama sebagai bagian integral dari peningkatan mutu pendidikan, serta sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial dalam melindungi dan membina generasi penerus bangsa, terutama dalam perlindungan anak di SMP Negeri 32 Surabaya. Sebagai acuan maka adanya penandatangan MoU terkait sekolah ramah anak di lingkungan SMP Negeri 32 Surabaya. Ia menjelaskan, pengawasan tidak hanya menjadi tugas tenaga pendidik, tetapi juga melibatkan seluruh pihak yang berada di ekosistem sekolah, baik dirumah atau disekolah.
“Kalau bicara pengawasan dalam Sekolah Ramah Anak, itu sudah diatur dalam standarisasinya. Tenaga pendidik tentu termasuk di dalamnya, tetapi juga ada peran orang tua, wali murid, komite sekolah, bahkan lingkungan sekitar. Semua memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam mewujudkan sekolah yang aman dan ramah anak,” papar kak iful selaku ketua Komnas Anak Surabaya.
Menurutnya, konsep Sekolah Ramah Anak tidak bisa hanya dibebankan kepada satu instansi. Pihaknya mendorong agar pendekatan pentahelix yang melibatkan unsur pemerintah, dunia pendidikan, masyarakat, dunia usaha, dan media bisa dijalankan secara sinergis dan berkesinambungan.

“Pemberdayaan dan perlindungan anak itu harus menyeluruh. Tidak bisa hanya dari Komnas Anak saja atau Dinas Pendidikan saja. Makanya kami dorong kolaborasi lintas sektor, pentahelix-nya harus jalan. Semua komponen harus terlibat aktif, menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membangun komunikasi dan pola asuh positif di rumah. Menurutnya, orang tua adalah benteng pertama dalam pencegahan kekerasan terhadap anak ” ujarnya.
“Kita juga perlu terus melakukan edukasi dan penyuluhan tentang pola parenting yang sehat. Karena sering kali kekerasan bermula dari kurangnya pemahaman orang tua dalam mengelola emosi atau cara mendidik anak,” terangnya. Kegiatan Penguatan Satuan Pendidikan Ramah Anak ini diharapkan tidak hanya menjadi agenda formal SMP Negeri 32 Surabaya, melainkan gerakan moral yang berkelanjutan.
Para guru dan tenaga pendidik serta anak-anak sebagai peserta kegiatan ini juga diajak untuk menjadi agen perubahan yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai ramah anak dalam seluruh aktivitas belajar mengajar.
“Semoga dengan kegiatan ini, kesadaran kita semua semakin kuat bahwa anak-anak berhak atas lingkungan belajar yang aman, penuh kasih, dan menghargai martabatnya sebagai pemenuhan 10 hak dasar anak,” pungkasnya.
(Triwono)