Juni 10, 2025

Yunita Panca MS, S.Sos, SH : Fajar itu bukan preman / pemeras, tapi sebagai guru pondok sunan ampel sidogiri

0

Pasuruan, Tnipolrinews.com – Jatim
Terjadinya konflik lahan tanah antara ahli waris almarhum Juma’i dengan korporasi PT. PIER / SIER kembali memicu gelombang protes hukum, dimana kuasa hukum fajar yang notabene selaku ahli waris utama mengecam pernyataan aparat kepolisian yang sangat terkesan melabeli kliennya serta pendamping warga sebagai preman, sehingga pernyataan ini tidak hanya menyebarkan opini masyarakat, akan tetapi sekaligus memuat posisi hukum yang sah secara konstitusional, ” ujar Yunita.

Adapun pernyataan ini disampaikan setelah pertemuan antara kuasa hukum ahli waris, disamping perwakilan keluarga, pihak kepolisian yang diwakili kasat reskrim polres Pasuruan, AKP Khoirul.

Selaku pihak aparat hukum, Khoirul menjelaskan bahwa perkara kepemilikan lahan yang sebelumnya dimenangkan oleh PT PIER / SIER di Pengadilan Negeri Bangil, akan tetapi dalam putusan itu dibatalkan oleh pengadilan tinggi surabaya, sehingga mengabulkan banding dari para ahli waris, sehingga putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah berkekuatan hukum / inkrah.

Dalam penjelasannya pihaknya mengatakan, dimana putusan yang sudah inkrah secara normatif seharusnya mengakhiri proses peradilan, sesuai ketentuan pasal 1917 KUHP serta pasal 24.C UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap bersifat final serta mengikat.

Namun dilain pihak, AKP Khoirul mengatakan adanya dua dokumen baru, kasasi dengan nomor perkara 2561 serta peninjauan kembali ( PK ) dengan nomor 555, yang di klaim dimenangkan kembali oleh PT. PIER / SIER.

Selaku kuasa hukum Fajar, tentunya pihak Yunita menilai hal tersebut sangat bertentangan dengan pasal 30 Undang Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang mengatur bahwa kasasi hanya dapat dikeluarkan dalam tenggang waktu dua minggu sejak salinan kesimpulan diterima.

Peninjauan kembali hanya dapat dikeluarkan bilamana ditemukan novum ataupun terjadi kekhilafan hakim, bukan sebagai upaya hukum setelah inkrah, apalagi dengan jedah waktu hingga dua tahun, ” jelasnya.

Adanya peninjauan kembali dua tahun setelah putusan inkrah, tanpa pemberitahuan resmi kepada pihak ahli waris, merupakan pelanggaran terhadap asas audiet alteram partem, hak setiap pihak untuk didengar dalam proses hukum, sehingga hal ini akan ditanyakan secara sungguh sungguh ke Mahkamah Agung, ” tegas Yunita.

Selain itu pihaknya mengingatkan bahwa tindakan kriminalisasi terhadap warga negara yang memperjuangkan hak atas tanah warisan adalah bentuk penyimpangan atas Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 36 yang menjamin hak atas kepemilikan.

Selaku kuasa hukum, pihaknya tidak akan diam, termasuk kemungkinan gugatan atas prosedur pelanggaran atas dugaan dan perbuatan melawan hukum, ” pungkasnya.
( syarief 01 )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *