Ketua Harian YALPK Group: Penetapan Tersangka Penggelapan Fidusia Cacat Hukum, Potensi Gugur di Praperadilan…!!!
                SIDOARJO, tnipolrinews com – Selasa, (4/11) Maraknya praktik penetapan tersangka terhadap debitur oleh perusahaan leasing (pembiayaan) dengan tuduhan penggelapan objek jaminan Fidusia (Pasal 36 UU Fidusia) dan/atau Pasal 372 KUHPidana menjadi perbincangan panas, khususnya di kalangan praktisi hukum dan aktivis perlindungan konsumen. Prosedur hukum ini dinilai mengabaikan substansi hubungan perdata (utang-piutang) dan berpotensi melanggar hak-hak konsumen.
Dua pertanyaan utama menjadi sorotan terkait praktik penjeratan pidana ini:
Apakah Penetapan Tersangka dan Penahanan Debitur Sah menurut Hukum?
Apakah Akta Fidusia tanpa Kehadiran Debitur dapat Menjadi Dasar Pidana?
Ketua Harian Yayasan Advokasi Lembaga Perlindungan Konsumen (YALPK GROUP), Bramada Pratama Putra, S.H., CPLA., menegaskan bahwa penetapan tersangka dan penahanan dalam kasus semacam ini harus diuji secara ketat dan berpotensi gugur melalui mekanisme Praperadilan.
1. Syarat Objektif Penetapan Tersangka
Menurut Bramada, penetapan tersangka wajib didasarkan pada minimal dua alat bukti yang cukup.
”Jika dalam hal ini hanya berupa laporan kreditur tanpa adanya akta fidusia yang sah, maka penetapan tersangka tidak memenuhi syarat objektif,” tegasnya.
2. Cacat Hukum Akta Fidusia Tanpa Kehadiran Debitur
Merujuk pada Pasal 5-11 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, ia menjelaskan:
”Agar Pasal 36 UU Fidusia dapat diterapkan, harus ada perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar. Jika akta fidusia dibuat tanpa kehadiran Pemberi Fidusia (debitur), maka perjanjian tersebut cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.”
Hal ini juga mengindikasikan adanya cacat formil dalam pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang hanya berdasarkan surat kuasa bermuatan klausula baku, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Bramada Pratama Putra juga menekankan bahwa akar masalah antara debitur dan kreditur adalah hubungan perdata yang tertuang dalam perjanjian pembiayaan konsumen (utang-piutang), sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata.
Persoalan Pengalihan Objek Jaminan: Persoalan pengalihan atau penguasaan kendaraan yang masih dalam masa kredit adalah bentuk cidera janji (wanprestasi) dan tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHPidana).
Arah Penyelesaian dengan demikian, laporan dugaan penggelapan objek fidusia seharusnya tidak diproses secara pidana, melainkan diselesaikan melalui jalur perdata atau mediasi konsumen.
Pendapat ini diperkuat oleh Surat Edaran Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Nomor: B/2110/VIII/2009, yang secara tegas mengarahkan bahwa:
*Laporan debitur terhadap perusahaan pembiayaan terkait penarikan unit tidak boleh diproses dengan pasal pencurian/perampasan.
*Laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalihkan unit tidak boleh diproses dengan pasal penggelapan atau tindak pidana lainnya.
Bramada juga menyoroti adanya indikasi perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dengan nilai pembayaran aktual yang dilakukan konsumen.
”Hal ini menunjukkan bahwa debitur adalah pihak konsumen yang beritikad baik, bukan pelaku kejahatan sebagaimana dituduhkan,” tambahnya.
Mengakhiri pernyataannya, Bramada Pratama Putra mengingatkan kepada seluruh lembaga di sektor keuangan untuk selalu menghormati Hak-Hak Konsumen dan menjalankan praktik bisnis yang berkeadilan.
Selalu berhati-hati dan pahami setiap klausul saat mengajukan kredit. Untuk Pihak Pembiayaan:
Wajib melakukan verifikasi dan memastikan kehadiran langsung debitur saat Akta Fidusia dibuat untuk menghindari cacat hukum dan tuntutan pidana yang tidak berdasar.
(Arju Herman)